Taring Singa
Oleh Bayu Zane
Aku hanya seorang
yang tidak mengerti untuk apa sebenarnya spesiesku diciptakan, bahkan kebanyakan
dari sisi yang berlawanan dari pemikiran-pemikiran dasar. Orang berpendapat
bahwa aku hanyalah seorang yang berkelakuan buruk dan ganas, pemalas, berlagak
layaknya seorang pemimpin, dan sombong.
Mereka tidak pernah
ingin memahami secara logika dari sisi yang berbeda dan hanya mementingkan ego
mereka pribadi saja. Tapi itulah kenyataan hidup, kebanyakan penjabaran logika
berasal dari sebatas opini belaka, hasil dari pemikiran yang menurut sang pemilik
ucapan adalah hal yang logis dan beradab. Bukankah yang seperti itu hanya dapat
diartikan sebagai sebuah argumen tak mendasar?
Suatu ketika aku
sedang berjalan mencari buruan, seperti yang biasa dilakukan setiap harinya,
mengintai di balik semak menunggu kawanan rusa atau sekelompok babi hutan
datang mendekat, aku mengendus daun berembun, setiap inchi tanah, dan jejak
kaki di depanku, layaknya seekor anjing kelaparan, karena hampir dua hari ini
aku tidak makan. Dua malam yang lalu hasil buruanku baru saja dicuri oleh
sekelompok sialan yang hanya berani main keroyokan. Mereka mencuri satu-satunya
persediaan yang tersisa. Menyisakan hanya sebuah tulang dada rusa yang jelas
tidak mungkin untuk dimakan. Bahkan jika tulang itu kubumbui sedemikian rupa
tetap tidak akan memuculkan cita rasa apapun.
Aku membutuhkan
nutrisi lebih, perut sudah mulai mengamuk dan mengering, seperti sebuah gendang
yang ketika dipukul berbunyi. Nyaris tidak bersisa apapun di dalamnya, bahkan
tulang belulang mulai tampak jelas menyumbul dari balik kulit. Dan bahkan tanpa
perlu diberitahupun orang lain pasti akan menebak berapa lama perut itu sudah kosong.
“Apa yang kau
lakukan di sini?” sebuah suara dari belakang menghampiriku.
Aku menoleh,
ternyata Dorba, sang kera berbulu domba, ia berkacak pinggang memperhatikan
penampilanku.
“Apa kau ingin
mencoba sesuatu yang lain? Mungkin seperti marshmallow bakar, atau sedikit
ramuan jahe?” Tanyanya mengejek sambil memandang dalam.
“Kau tahu aku tidak
menyukai itu semua, apalagi yang berbau menyengat seperti Jahe, dan lagi, aku
berdarah panas, tanpa ramuan itu saja tubuhku sudah sangat kepanasan.” Jawabku sambil
terus berkutat dengan perburuanku.
“Kalau begitu,
bagaimana jika main ke kediamanku? Kebetulan keluarga sedang tidak ada di rumah
sekarang, mereka sedang berada di luar daerah untuk memperluas wilayah buruan.
Hanya ada aku dan Meli…” ajak Dorba sedikit memaksa.
“Aku sedang tidak
ingin berpesta, saat ini aku benar-benar butuh daging untuk mengisi perut,”
jawabku kembali tanpa menoleh ke arahnya.
“Datanglah, kau
tidak akan menyesal… kalau soal daging, walau keluarga kami vegetarian, kami
tetap memiliki stok daging di rumah, biasa untuk para tamu sepertimu yang
datang… jika kau berniat datang, temui aku di Malmo avenue sekitar jam dua
siang. Aku ada janji di sana dengan seorang teman…” lanjutnya.
Aku hanya diam
berpikir keras, sebagian dari diriku menolak tawaran itu, apalagi tidak ada
yang tidak mengenal keluarga Dorba. Ayahnya yang seorang usahawan kaya dari
jenisnya. Orang bilang keluarga Dorba memang sudah ditakdirkan untuk menjadi demikian.
Bulu badan mereka putih dan lebat. Sangat berbeda dengan yang lain dari jenis
mereka, ciri khas kebangsawanan sudah terlihat jelas. Terkadang itulah yang
membuat mereka sedikit disegani dan terkesan angkuh.
Tapi sebagian diriku yang lain juga sangat menginginkannya, lalu dengan
penuh pertimbangan pada akhirnya tawaran itu kuterima.
“Baiklah aku akan
datang, bagaimana caranya menghubungimu?” aku membalikkan badan ke arah Dorba, ia
nyaris menghilang di balik semak belukar yang tinggi menjulang.
“Kunjungi aku di
ujung jalan, aku akan menghampirimu.” Senyumya seraya membalikkan badan kembali
ke arahku.
Siang itu sesuai
janji aku datang ke perempatan
jalan. Tidak ada siapapun di sana kecuali beberapa ekor katak yang sedari tadi
melompat tak jelas, seperti hendak mencari sesuatu tapi juga bingung dengan
apa yang dicari.
“Kau
datang juga,” sahut sebuah suara dari kejauhan. Dorba datang menghampiri, dia
memakai setelan jas rapi berwarna putih, berpadu dengan warna bulu di sekujur
tubuhnya yang berwarna seputih kapas membuatnya lebih mirip seperti sebuah boneka
putih yang berjalan.
“Mana
temanmu?” tanyaku penasaran, aku melirik ke arah belakang Dorba tapi tak nampak satu
orang pun di sana.
“Ia
tidak jadi datang, katanya.” Jawabnya dengan mimik cemberut. Seakan itu adalah
pertemuan yang sangat penting.
“Memang
kalau boleh tahu siapa temanmu itu?”
“Leir,”.
Leir
adalah seorang tua yang bertanduk amat panjang. Ia biasa disebut sebagai sebagai
Bapak dari para Lembu. Dia adalah orang penting di Malagasy. Oh ya, aku belum
menceritakan tentang daerahku kepada kalian.
Itu
adalah surga bagi semua spesies makhluk hidup di muka bumi, bahkan segala jenis
tumbuhan hidup subur di dalamnya. Malagasy adalah tempat yang aman dan tentram.
Sangat jarang ditemukan hal-hal aneh dan mengerikan seperti pencurian dan
pembunuhan, bahkan di gang-gang seperti Arnes dan Fall. Sebutan untuk dua gang
tersempit, tersunyi dan paling jarang dilalui. Seperti gang lainnya, keduanya diselimuti oleh sejenis lumut tua yang menjalar pada tiap sisi jalan.
“Leir,
Bapak tua itu? Ada janji apa dengannya?” tanyaku penasaran.
“Bukan
hal penting, ia punya sesuatu yang aku inginkan sejak dulu. Dan berjanji akan
memberikannya hari ini. Tapi sepertinya terjadi kendala di Safana Hill.
Perahunya rusak terhantam ombak sungai. Sedang tidak mungkin untuknya berjalan
melalui jembatan yang sudah reot itu...”
Jembatan
yang dimaksud adalah Pearl Gate yang menghubungkan Lembah Safana dan Shore. Malagasy
adalah daerah yang sangat luas. Hampir sebagian besar wilayahnya ditutupi hutan
dan Padang Rumput.
“Jika
ia sudah tahu perahunya rusak kenapa membuat janji?” Aku merasakan hal ganjal
dari cerita Dorba. Terdengar seperti mengada-ada.
“Ia
baru tahu pagi ini, saat hendak kemari, pada akhirnya hanya secarik surat dari Mali ini yang
kuterima.” Keluh Dorba masih cemberut
“Mali..
kadal sialan itu?” aku semakin tidak yakin dengan cerita Dorba. Banyak yang
tidak memercayai Mali. Ia lebih sering bergurau terhadap hidupnya dan semua
orang.
Dia pula penyebab buruan-buruanku dicuri oleh anjing-anjing tidak
tahu diri itu, membuatku harus mengemis kepada Dorba hanya untuk makan. Jadi Mana mungkin Mali sampai seperduli itu mengantarkan pesan yang begitu jauh dari Pak Tua. Tapi mungkin saja itu memang benar. Lagipula apa urusanku dengan mempertanyakan kebenaran semua cerita Dorba
barusan, yang aku tahu
sekarang perut ini lapar dan ingin diisi sesuatu.
“Jadi
hari ini di tempatmu benar - benar kosong?”
“Ya,
hanya ada aku dan adikku Meli, juga tukang kebun kami. Tapi yakinlah, di
meja makan hanya akan ada kita bertiga saja.” Ujarnya bermaksud
bergurau.
Aku
hanya tertawa kecil, untuk menghargai Dorba. Saat ini aku benar-benar tidak peduli dengan
apapun kecuali mungkin jika perutku sudah penuh. Rasanya seperti harga diri dan
kewarasanku mengalami degradasi memalukan hanya karena rasa lapar yang bukan
main. Benar kata orang, lapar bisa membuatmu menjadi orang lain. Tapi uintung
saja saat ini kewarasanku masih bisa dikendalikan. Karena hampir saja Dorba aku makan.
“Kita
sampai” Sahut Dorba tersenyum mempersilahkan masuk.
Rumahnya
lumayan luas. Bahkan pintu gerbangnya sangat tinggi dan
terlihat kontras dengan ukuran badan Dorba yang hanya setinggi Tujuh puluh sentimeter.
“Masuklah,
anggap saja rumah sendiri.” Ujar Dorba sambil melambaikan tangan kepada Meli,
adik perempuannya itu menyambut kedatangan kami dengan pakaian ala
Wanita Eropa. Dress biru panjang dan pita kecil merah muda di rambut sebelah
kiri.
“Kakak dari mana saja, makanan sudah siap dan
aku sudah sangat lapar karena menunggu kedatangan kakak.” Manja Meli.
“Pertemuan
hari ini dengan Pak Tua batal, oh ya, perkenalkan ini Tanora, teman kakak.”
Ujar Dorba memperkenalkan diriku pada Meli.
Meli
hanya bersembunyi di belakang kakaknya. Antara ketakutan seakan sedang memandangi hantu.
“Tenang
saja, dia sudah kujinakkan, jadi kau tidak perlu takut.” Canda Dorba diriingi
cengiran. Aku bergumam sendiri mendengar bahasanya.
“A-aku
Meli...” Pelan-pelan Meli mengangkat tangannya bermaksud berjabat tangan
denganku.
“Tanora...”
Jawabku tersenyum sembari membalas
jabatan tangan Meli.
“Mari
masuk, sepertinya Tuan Tanora sudah lapar, kita makan sama-sama saja.”
Dorba
benar-benar tidak memahami bagaimana menghargai orang lain. Sebenarnya aku
sudah tahu akan seperti ini jadinya, akan tetapi apa mau dikata. Aku harus mengalah atau mati kelaparan sekarang.
Ruang
Makan keluarga Wenstein sangat besar. Seperti sebuah aula. Semua perabotannya berasal dari
batuan alam dan kayu. Di daerahku belum ada listrik, jadi sebagai ganti
penerangan kami biasa menggunakan obor atau lentera.
Di tengah ruangan makan terdapat sebuah
meja berbentuk persegi panjang terbuat dari kayu mahoni yang sangat indah. Itu adalah
meja makan keluarga Wenstein, aku tidak pernah menyangka bisa makan satu meja
dengan salah satu anggota keluarga konglomerat tersebut.
“Silahkan,” Ujar
Dorba setelah makanan dihidangkan.
“Hanya kita
bertiga?” Tanyaku penasaran. Di meja sebesar itu hanya ada kami saja. Sedangkan
Makanan yang dihidangkan seperti untuk banyak orang. Meli yang memasaknya. Lalu
kenapa ada daging? Bukankah Meli tidak tahu akan kedatanganku? Apa mereka juga
sesekali makan daging?
“Daging merah
kiriman dari Duke Lahor. Belum pernah kami sentuh semenjak kedatangannya
sebulan lalu, silahkan dicoba.” Sahut Dorba sembari menyodorkan potongan daging
lembu kepadaku.
Duke Lahor adalah
sebutan untuk raja yang menguasai 70 persen wilayah Lahor. Sebuah negara di
selatan Malagasy. Kabarnya hubungan Duke sangatlah erat dengan keluarga Weinstein.
Mereka biasa bercengkrama bersama dan keluarga Weinstein termasuk salah satu Bangsawan
negeri Malagasy yang dipersilahkan menghadiri pesta dan jamuan Istana.
“Terima kasih, oh iya kau belum menceritakan
tentang orang tuamu, bagaimana kabar mereka? Apa kegiatan mereka saat ini?”
Tanyaku memulai pembicaraan.
“Seperti kabar
burung selama ini, kurasa kau juga sudah tahu.” Jawab Dorba tersenyum. Ia
mungkin merasa pertanyaanku kali ini hanya bentuk lain dari pertanyaan retoris
yang tidak memerlukan jawaban.
“Jadi begitu. Tapi
bagaimana dengan studimu? Meli? Apa kau menerima ini semua? Bukankah saat ini
kau juga masih sekolah?” aku mencoba memulai percakapan dengan Meli yang sedari
tadi hanya diam memandangi kami berbicara.
“Tidak masalah kak.
Ini seperti sudah menjadi rutinitas. Hidup tanpa orang tua yang selalu sibuk
dengan bisnis dan pekerjaan-pekerjaan mereka, kami paham maksud papa-mama,
untuk kebahagiaan kami dan setidaknya ada harta warisan yang ditinggalkan jika
mereka sudah tiada.” Jawab Meli agak ketus.
“Meli… hentikan!
Kenapa berbicara seperti itu?” Dorba merasa adiknya sudah keterlaluan. Ia tidak
layak berbicara seperti itu, apalagi kepada orang luar.
“Tidak apa Dorba, aku
yang salah menanyakan hal tersebut. Tidak seharusnya aku bertanya demikian. Meli,
Dorba, maafkan aku. Aku sungguh menyesal.”
“Baiklah, ayo kita
mulai makan.” Sahut Dorba mengakhiri percakapan. Ia menyendok cah kangkung di
depannya. Aku hanya berkutat dengan daging-dagingan. kurang begitu menyukai
sayuran. Semua terasa pahit dan aneh di lidah.
“Jadi, Nora.. apa
kegiatanmu sekarang selain berburu?” tanya Dorba.
“Tidak ada, hanya
berburu. Aku tidak memiliki hal lain untuk dikerjakan.” Jawabku sambil terus
menyuap potongan daging panggang di hadapanku.
“Tidak ada hal yang
spesial?”
Aku menggeleng,”hm
ya mau gimana lagi… karena pengangguran di kaumku aku dikucilkan. Mereka bahkan
enggan untuk bergaul. Sudah jadi suatu penghargaan kamu masih mau berteman.”
“Jangan sungkan,
kami bukan bagian dari kaummu, jadi bukan masalah kurasa…” Ujar Dorba
tersenyum.
“ha-ha… jadi
maksudmu jika kau bagian dari mereka kau akan melakukan hal yang sama?” tanyaku
sedikit sinis.
Dorba terdiam
sejenak, lalu tersenyum,”Kau hanya terlalu sentimental,”
Makan malam
berjalan sempurna sesuai rencana Dorba, entah Meli juga mengetahui hal ini atau
tidak.
Aku mulai mengantuk
sehabis memakan banyak daging yang disajikan. Bumbunya yang begitu terasa di
lidah mungkin yang telah membiusku. Kepala terasa amat berat. Mata pun seakan
memaksa untuk tertutup. Kulihat dari bayang-bayang yang mulai kabur wajah Dorba
dan Meli. Mereka tersenyum. Aku tertidur di meja makan. Tak sadarkan diri.
Hanya suara-suara
yang terdengar, entah milik siapa. Semua terasa berdengung di kedua telingaku.
Dua besi yang
saling digesekkan, Suara berat laki-laki, dan ada juga wanita. Yang perempuan
sepertinya Meli. Ia berbisik kecil pada Dorba. Entah apa yang mereka perbincangkan.
“Selamat datang
kembali…” Sahut Dorba, kulihat Meli dengan senyum jahatnya berdiri di belakang
Dorba.
“Apa yang kalian
lakukan?” aku menemukan tubuhku telah terikat bak orang yang hendak disalib.
Aku mencoba menggerakkannya tetapi percuma, kedua tangan dan kakiku diikat kuat
pada salib terbuat dari kayu yang ditegakkan di halaman belakang rumah mereka.
Tukang kebun mereka
datang dengan peralatan Gergaji mesin, gunting dan paku-paku antara ukuran
sedang hingga besar.
“Apa yang mau
kalian lakukan?” tiba-tiba saja dari kejauhan kulihat Leir, kakek tua bertanduk
dengan mata merahnya muncul dari balik semak-semak tinggi. Ia tersenyum seakan telah
memenangkan sesuatu.
“Pak Leir? Tapi
bagaimana bisa?”
“Untuk mengurangi
angka populasi Penduduk Malagasy, agar seseorang tidak berguna sepertimu
menjadi berguna untuk sesama. Oleh karenanya, kami akan menjadikan kulitmu yang
hangat dan kurus itu untuk pakaian dan selimut. Dan organ dalammu untuk
pengobatan.”
“Tidaaak!!”
teriakku ketakutan.”Hei kita bisa membicarakan ini, jika kalian membutuhkan
suplai aku bisa memberikannya…”
“Ha-hahaha…. Kau
pikir kau cukup berguna? Bahkan untuk memenuhi isi perutmu sendiri saja kau
kesulitan, bagaimana mungkin kau bisa menawarkan tenagamu untuk penduduk
Malagasy? Terima saja takdirmu. Setidaknya kau bisa memberikan sedikit manfaat
dari tubuhmu .”
“Apa kalian sudah
gila?” Aku menggeram marah.
“Silahkan saja kau
berbicara apapun tentang kami, seseorang yang angkuh sepertimu tidak akan
pernah mengerti kebaikan yang kami lakukan.” Bapak Tua Leir melanjutkan
pekerjaannya mengasah alat-alat mengerikan itu di atas meja tepat di hadapanku.
“jadi kalian sebut
ini kebaikan?” ujarku, tak terasa keringat dingin mengucur dari dahi. Seluruh
badanku mengigil saking takutnya dengan peristiwa yang akan segera menimpaku sekarang.
“Aku tidak
mengatakan ini benar, kami hanya menolongmu berbuat kebaikan, setidaknya
sedikit dalam hidup kau pernah merendah, dengan pengorbanan yang akan kau
berikan dapat memberikan dampak manfaat besar di seluruh Malagasy…” Jawab Pak
Leir. Disambut dengan tawa besar Dorba
dan Meli.
“Kalian sudah gila,
benar-benar gila! aku tidak akan pernah memaafkan perbuatan kalian ini…”aku tiba-tiba
saja menjadi sangat emosi. Meludahi wajah Pak Leir yang saat ini tengah
memandangiku dalam dari dekat.
“Jangan banyak
bicara, silahkan balas dengan taring-taring busukmu itu jika kau memang sanggup
melakukannya.” Dorba mempersilahkan Pak Leir memulai aksinya. Ia mengambil
beberapa paku beton besar dan sebuah palu. Lalu, dengan sekuat tenaga dipakunya
kedua kakiku bertindihan. Berpindah ke lengan kiri dan kanan. Keringat dingin mengucur di seluruh
tubuhku, rasa sakit yang tidak mungkin dapat kulupakan jika saja aku lepas dari
jerat penyiksaan ini. Ternyata apa yang
kupikirkan sedari siang tadi terbukti. Kecurigaanku terhadap cerita
Dorba dan tingkah Meli yang aneh. Seharusnya aku tidak mengiyakan ajakan Dorba.
Seandainya saja aku
menolaknya, walau mungkin perutku akan kelaparan.. mungkin saat ini aku tengah
tidur tenang di gubuk reotku. Walau dinginnya udara malam dan sangat sulit
membuat api dengan keadaan tubuhku yang tidak memiliki jari – jari yang panjang
menonjol layaknya Dorba, tetapi suasana itu
jauh lebih baik daripada apa yang kurasakan sekarang. Mungkin aku akan
tidur lelap ditemani suara jangkrik malam dan semut yang berjalan rapi
disekitarku. sepanjang ini, itulah hidup yang kujalani. Aku menyukainya,
mengoyak setiap daging hasil buruanku sendiri di atas sebuah perapian. Aku
mensyukurinya.
Kreet!!
“AAAGGH” gergaji
mesin itu sedikit demi sedikit merobek setiap jengkal daging ku, Pak Leir
melakukannya dengan sangat teliti dan lihai. Seakan-akan bukan kali pertamanya.
Crooot!
Darah menyembur
keluar dari lengan yang dipotongnya, ia membiarkanku tetap sadar. Setiap
potongannya tidak mengenai bagian vitalku, membuatku harus merasakan setiap inchi
rasa perih atas kulit-kulit yang disayat rapi dan daging yang dipotong, kulihat
dengan mataku sendiri dan kesadaran yang sudah semakin menjauh darah segar dan
isi perut yang mencuat keluar.
Perasaan dingin
sedingin es mulai memenuhi kepalaku menjalar dari perut dan tangan yang sudah
tidak berbentuk lagi. Lalu bahkan tanpa istirahat barang sejenak ia mulai
mengambil hati dan kedua ginjalku menggunakan gunting ditangannya. Menjilat
darah yang melumurinya dan
memperlihatkan dengan senyum kemenangan kepadaku, seakan mengatakan ‘Aku
akan mengunyah ginjalmu’. Tidak ada lagi suara yang dapat keluar dari tenggorokan,
napas mulai terasa sesak, tidak mampu lagi berbicara bahkan untuk mengatakan ‘tolong’.
Ia menyelesaikan
pekerjaannya dengan membelah perutku menjadi dua bagian atas dan bawah, kurasakan dengan penuh
kesakitan dan napas yang semakin menjauh, pandangan yang berkunang-kunang,
keringat dingin yang terus mengucur, seketika rasa sakit itu hilang. Pandangan
di depanku telah gelap gulita.
Inilah akhir hidup dari seorang Tanora. Taringnya tidak membuahkan
perlawanan apapun, bahkan tidak pernah berguna hingga akhir hidupnya kecuali
untuk mengunyah makanan. Bulu dan rambut kuning keemasan tidak menolong
wibawanya, bahkan rasa lapar telah membutakan harga dirinya.
Mungkin mereka benar, aku adalah seorang yang angkuh dan kasar.
Hanya karena keangkuhan itu aku tidak pernah berkaca dan sadar. Hingga akhirnya
semua nikmat yang kuterima selama ini direbut dariku oleh seekor kera hina
seperti Dorba yang mengandalkan kekuasaannya untuk bertindak sesuka hati,
mungkin aku memang pantas menerima semua penderitaan dan rasa sakit ini.
Umpatan yang keluar begitu saja dari mulutku hanya karena tidak
terima hasil buruan direbut oleh sekelompok anjing liar yang lapar. Menghina mereka
semena-mena, padahal mungkin mereka melakukannya untuk anak-anak mereka. Aku yang
tidak pernah memahaminya karena hidup sebatang kara. Lalu mulai mengeluhkan
perbuatan mereka sebagai imbalan dari rasa lapar yang kurasakan beberapa hari
ke belakang. Padahal itu semua adalah karena kemalasanku pribadi.
Tuhan, jika memang ini adalah akhir hidupku, maka tolong maafkan
aku yang tidak berguna ini. Seandainya ada
kesempatan kedua, aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Mensyukuri
setiap nikmat yang kau berikan.
Semua telah berakhir, angin berhembus kencang, entah mengapa aku
merasakannya, padahal dengan semua rasa sakit sekarang tidak mungkin untuk
menghiraukan bahkan untuk sebuah sengatan lebah raksasa.
Angin kembali berhembus, kali ini lebih kencang, dinginnya
mengalahkan kucuran keringat di sepanjang leher hingga perutku yang mungkin
telah bopong.
Sebuah cahaya putih bersih dari kejauhan mendekat. Aku masih
terlena dengan nyenyak tidur dan suasana
gelap gulita ini, tetapi cahaya putih itu semakin dekat dan melebar.
“Tanora!” bisik sebuah suara.
Tiba-tiba saja aku menemukan diriku yang kurus kering tengah terbaring
di bawah semak tinggi. Cahaya matahari masuk melalui celah dedaunan pohon
rindang di atasku.
“Apa yang kau lakukan di sini?” suara itu mulai terdengar jelas,
aku mengenalnya akrab. Itu suara Dorba.
“Ugh, apa yang terjadi?” tanyaku heran. Dorba tampak malah semakin
kebingungan .
Aku baru teringat sedang mengintai buruan. Dorba menceritakan bahwa
ia tengah lewat di sekitar sini dan menemukanku terkulai lemas. Ia berpikir
bahwa aku pingsan.
“Apa kau sudah makan? Badanmu kurus sekali?” pandangan Dorba
sejenak bolak-balik memperhatikan wajah dan perutku yang seperti sisir.
“Belum, beberapa hari ini…” jawabku singkat.
“Apa kau ingin mencoba sesuatu yang lain? Mungkin seperti
marshmallow bakar, atau sedikit ramuan jahe?” Tanyanya mengejek sambil
memandang dalam.
“Kau tahu aku tidak
menyukai itu semua, apalagi yang berbau menyengat seperti Jahe, dan lagi, aku
berdarah panas, tanpa ramuan itu saja tubuhku sudah sangat kepanasan.” Aku heran
bagaimana aku bisa berbicara demikian. Padahal kata-kata itu belum sempat
kurangkai di otakku.
“Kalau begitu, bagaimana jika main ke kediamanku? Kebetulan
keluarga sedang tidak ada di rumah sekarang, mereka sedang berada di luar
daerah untuk memperluas wilayah buruan. Hanya ada aku dan Meli…” aku mulai menyadarinya.
Apakah ini kenyataan? Atau hanya sebuah mimpi setelah kematian. Seperti di
kisah-kisah bahwa ketika seseorang mati, arwahnya akan mengalami pengulangan
kejadian hal yang membuatnya mati.
“Dorba bisa kau cubit aku?” ujarku
perlahan.
“Aku lebih senang menendang pantatmu yang tirus kurang daging itu.”
Candanya.
“Aku serius!”
“Baiklah” ia mencubit dengan keras pipi kiriku. Ternyata ini
kenyataan. Tapi bagaimana bisa, lalu kata-kata yang baru saja kuucapkan pada
Dorba? Apakah ini sebuah peringatan?
“Bagaimana?”tanya Dorba menawarkan kembali dengan sedikit memaksa.
Aku melamun sejenak berusaha sadar. “tidak terima kasih, aku
menyukai perutku yang se perti sisir ini, lagipula aku masih mempunyai taring
untuk berburu sendiri. Maaf menolak kebaikanmu.” Dorba tersenyum mendengar
ucapanku barusan. “Kenapa senyam senyum?” tanyaku.
“Tidak apa-apa, yasudah kalau memang begitu. Tapi kalau kau memang
berminat untuk datang pintu rumahku akan selalu terbuka untuk orang sepertimu.”
Ujarnya sembari pergi dan menghilang
diantara semak-semak tinggi.
Tuhan jika ini sebuah jawaban, maka aku hanya dapat berterima
kasih. Aku mensyukuri taring ini, aku bersyukur atas naluri seekor singa yang
kau anugerahkan padaku.
Diilustrasikan Oleh : Bayu Zane
Tanggal : 05 Mei 2016
Kumpulan Cerpen lainnya : 1
No comments:
Post a Comment