Search Konten In This Blog

Kumpulan Cerpen 1: Gadis Berambut Keriting

CERPEN 

(CERITA PENDEK) 

UNTUK SEMUA UMUR



Cerpen merupakan sebuah karya tulis Fiksi yang penulisan ceritanya dibatasi kurang dari 7500 kata saja. alias Cerita Pendek. biasanya  penulis menggunakan cerpen sebagai karya untuk menunjang dan mengasah kemampuan menulisnya. hal tersebut biasa dilakukan oleh novelist atau karya tulis panjang lainnya. dalam menulis Cerpen dianjurkan ditulis dengan menggunakan bahasa sendiri yang mudah dipahami oleh pembaca, konten ceritanya yang tidak terlalu berat dan Cerpen termasuk karya tulis yang diminati oleh hampir semua orang.


sekarang penulisan ceritanya semakin beragam, dari yang dapat dibaca oleh semua kalangan usia, hingga konten yang dikhususkan untuk pembaca dewasa.

Oleh karenanya, kali ini admin pengen bagiin hasil karya orisinil Asli punya pribadi, karena kebetulan Admin adalah seorang penulis juga. silahkan di baca :) ^.^



Gadis Berambut Keriting

Oleh Bayu Zane


                “Apa maksud ucapanmu, kenapa hal ini dilontarkan kepadaku?”
            Gadis belia itu bertubuh kecil berwajah manis dengan mata belo dan rambut keriting panjang, umurnya sekitar lima belas tahun. Hidupnya sudah sangat sulit semenjak ditinggal pergi kedua orangtuanya, hanya dua orang kakek – nenek yang masih mau menjaga dan membiarkan ia bersama adik laki-lakinya tinggal di sana. tampak wajahnya sangat ketakutan pagi ini, ia baru saja bertemu seseorang bertubuh besar berbusana serba hitam dari leher hingga ke mata kaki. Laki-laki itu datang menagih janji sang nenek yang berhutang Dua Ratus Dirham padanya tahun lalu, ia berkata bahwa nenek gadis itu telah berjanji akan mengembalikan jika masa panen tiba, tapi kenyataannya bahkan hingga beberapa kali masa panen dan gandum baru sudah mulai tumbuh besar, hutang itu tidak kunjung neneknya bayar.
            “Nenekmu sudah berdusta kepadaku, kau tahu aku tidak pernah ingin melakukan ini, tapi istri dan anak-anakku sudah nyaris meregang nyawa karena kelaparan, dan aku tidak memiliki harta sepetak pun untuk dijual atau menghasilkan layaknya orang-orang di desa, sekarang aku datang kesini menagih janji lama yang tak kunjung ada kabar,” keluh Lelaki tinggi besar tersebut.
            “Kalau begitu tagih saja ke beliau, aku tidak tahu-menahu tentang utang itu.” Sahut gadis itu.
            “Tapi kau cucunya, setidaknya lebih mudah memohon kepadamu daripada ke kedua orang tua angkuh yang tidak paham belas kasih itu.” Jawab Lelaki tersebut dengan mata layu diantara guratan kening dan kedua pipi yang mulai berkerut karena usia.
            “Baiklah akan kusampaikan kepada nenek,” Jawab gadis polos itu kepadanya.
            “Terima Kasih, aku sangat berharap bantuan darimu, aku sudah tidak tahan menghadapi hidup yang kian sulit ini.” Ucap lelaki itu mengakhiri percakapan.
            Siangnya, wanita belia itu pulang dengan wajah berkerut dan bibir yang berbisik menggerutu, ia ceriterakan perihal yang dialami pada sang nenek. Ia pikir sang nenek akan berkilah atau marah setelahnya, tapi kenyataan berucap beda. nenek tidak mengumpat barang sepatah katapun. Hanya menyuruh cucunya meraih dompet lusuh merah di dalam lemari pakaian dan mengeluarkan beberapa lembar Dirham, setelah menghitung lembaran-lembaran uang dengan jari-jemarinya yang keriput, ia sodorkan beberapa ratus Dirham ke tangan cucunya, jumlah yang lebih dari utang yang ia pinjam. Sore itu juga selepas makan dan berganti baju Gadis berambut keriting itu mengantarkan amplop berisi uang tiga ratus dirham ke rumah lelaki tersebut sesuai arahan dari nenek. Amplop itu ia masukkan dengan keterangan yang ditulis di atasnya melalui lubang surat di pintu depan. Karena setelah lama mengetuk sepertinya tidak kunjung ada jawaban dari dalam.
            Keesokan harinya lelaki tersebut datang kembali ke ladang, maksud hendak bertemu gadis berambut keriting. Gadis itu walau masih sangat belia, tetapi ia rajin membantu sang kakek di ladang untuk bercocok tanam atau sekedar menyemprotkan anti hama dan pupuk pada gandum mereka.
            Lelaki bertubuh besar itu datang dengan busana serba putih kali ini, ia tampak seperti seorang yang sangat alim dan bersahaja, wajahnya seakan baru saja menangis hebat, bekas air mata yang telah mengering masih terlihat jelas karena sepertinya ia selalu menggunakan pensil mata hitam dan kini guratan warna itu telah melebar ke kedua belah pipinya seakan tersapu oleh air.
            “Ada apa gerangan?” sapa gadis itu lagi. Lelaki tersebut menjelaskan perihal kedatangannya, sungguh membuat gadis kurus kecil itu makin bingung tidak karuan, bukankah baru kemarin ia bayarkan utang neneknya, tetapi sekarang ia kembali ditagih untuk utang yang lainnya.
            “Kamu sudah membuatku bingung, bukankah nenek hanya berhutang dua ratus dirham? Dan belum dua puluh empat jam rasanya uang itu berada ditanganmu, sekarang sudah berkeluh menagih utang yang lain, sebenarnya seberapa banyak utang nenek dan kakekku?” kesal wanita tersebut, ia merasa telah ditipu oleh lelaki setengah baya itu. Langsung saja ia berlari ke arah sang kakek yang tengah memeriksa gandum yang mulai menguning.
            “Ada apa gerangan?” Lelaki tua itu tampak bingung dengan tingkah cucunya yang ngos-ngosan seperti orang yang baru saja merathon sepanjang hari.
            “Orang yang kemarin menghampiri, dan ia baru saja pulang, ia berkata bahwa engkau berhutang lima ratus dirham kepadanya. Apakah itu benar kek?” tanya gadis itu pada kakeknya.
            Kakek berumur Tujuh puluh tahunan tersebut hanya terdiam dan berpikir dalam, ia mengernyitkan dahinya dan seketika wajahnya berubah menjadi sangat murung.
            “Iya, kami memang berhutang kepadanya,” Jawab kakek tersebut dengan suara agak parau.
          Gadis itu berkali-kali memandanginya sangat dalam, seperti bertanya-tanya ada apa, sebenarnya apa yang telah ia sembunyikan dibalik kepala tuanya? Lalu siapa laki-laki yang sedari kemarin datang menagih, apa hubungannya dengan kakek dan nenek? Gadis bertubuh sintal kecil itu makin heboh dengan pergulatan jiwanya sendiri. Memusingkan hal yang seharusnya tidak ia pikirkan. Malah ia merasa telah berada di luar koridornya sebagai seorang yang seharusnya hanya bekerja dan sekolah. Lagipula ia memiliki adik yang mesti diurusi.
             “Tolong engkau antarkan uang ini ke rumahnya, ia pasti telah menunggu lama” Ucap kakeknya selepas kembali dari ladang. Gadis muda itu hanya dapat diam menerima lembaran uang dari kakeknya dan berjalan ke rumah yang baru saja ia datangi kemarin.
            Ia berjalan menyusuri pematangan gandum warga yang mulai menguning. Dan sampailah ia pada rumah yang dituju, jauh di pinggir desa.
            Rumah laki-laki besar itu tidaklah mewah, tidak pula reot layaknya gubuk tua, tapi lebih mirip seperti rumah panggung biasa yang tidak terurus dengan halaman tanah kecil di depan dan sebuah danau luas di sisi kiri. Rumah tersebut berdinding dan beralaskan kayu mahoni, untuk ke teras rumah, gadis kecil itu harus menaiki tangga kayu setinggi satu setengah meter. Sesampainya di depan pintu tidak ada satu suara pun terdengar dari dalam, kejadian kemarin kembali terulang, hanya sunyi senyap bahkan untuk suara Televisi atau radio. Ia mengetuknya tiga kali, akan tetapi belum juga ada suara atau langkah kaki yang terdengar.
            “Permisi…!” Ucap gadis tersebut, ia masih mengetuk untuk kesekian kalinya. Tapi tetap tidak ada sahut balasan dari dalam. Ia melihat sebuah lubang surat di bagian bawah daun pintu. “Mungkin lebih baik jika aku tuliskan pesan saja.” Pikirnya. Untungnya ia tidak pernah lupa membawa pensil kemanapun ia pergi. Ditulisnya Pesan singkat pada amplop berisi lembaran uang dirham tersebut. “Dari Zafar, ini utang lima ratus dirham yang diminta.”. diakhir ia tandatangani. Amplop itu dimasukkannya ke dalam melalui lubang berbentuk persegi empat tersebut.
            Sesampainya ia di rumah, sang kakek sedang sibuk memotong kuku yang telah panjang, wajah beliau tampak lesu. Dilihatnya nenek juga tengah duduk melamun memandangi sebuah foto tua. Berkali-kali di dekapnya foto itu lalu ditatap kembali dengan pandangan yang dalam. Gadis berambut keriting itu menghampiri Wanita tua yang tengah dilanda gundah gulana tersebut, bermaksud bertanya ada apa gerangan. Kakek hanya melihat dirinya berjalan tanpa berkata barang sepatah pun. Ia juga tidak menyapa kedatangan cucunya walau untuk sekedar basa basi bertanya bagaimanakah tadi.
            “Ada apa nek? Kenapa nenek tampak lesu? Apa yang sedang dipikirkan?” tanyanya.
            “Tidak ada nak, hanya sedang bernostalgia,” sahutnya pelan sembari tersenyum.
            Ia lihat foto yang ada di tangan neneknya, di dalamnya tampak beberapa wanita sedang duduk berpose dan ada pula beberapa pria berdiri di belakang mereka.
            “Foto siapa itu nek?” tanya gadis tersebut penasaran. Sang nenek hanya memperlihatkan wajah pucat pasi layaknya orang yang tengah ketakutan hebat. Ia tidak segera menjawab pertanyaan dari cucunya.
            “Ini foto nenek dan kakek waktu masih muda dulu dengan beberapa orang teman lama.
            Gadis itu memperhatikan dengan seksama foto yang tengah digenggam keras oleh neneknya.
            “Boleh aku melihatnya?” tanyanya penasaran.
            Wanita tua itu hanya diam, “Untuk apa?”
            “Hanya penasaran, boleh kan?” Pintanya sedikit memaksa.
            Wanita tua di depannya kini menampakkan guratan ketakutan di wajahnya. Gadis tersebut semakin penasaran dengan apa yang ada di dalam foto itu.
            “Nek?” Pintanya sekali lagi, sang nenek akhirnya menyerah dan dengan berat hati menyerahkan foto tersebut. Gadis berambut keriting itu memandangi setiap detail wajah kakek nenek dan teman-teman mereka. Dan saat matanya tertuju pada satu wajah, seketika muka gadis itu memancarkan kengerian, dia masih belum percaya dengan apa yang ia lihat, dibalik foto tersebut, tampak tulisan dengan tinta hitam, ’21 Mei 1957’. Lalu tanpa henti ia bolak balik foto tersebut kedepan-kebelakang.
            Nek….” Wajahnya tampak pucat pasi.
            Wanita tua itu hanya diam membisu, ia memahami dengan jelas apa yang sedang dipikirkan oleh cucunya. Ia lalu berdiri dan berjalan ke arah lemari pakaiannya dan dari dalam dikeluarkannya sebuah kotak berwarna abu berisi beberapa lembar surat lama yang telah menguning. Surat Tanah dan Beberapa Surat Utang. Ia sodorkan pada cucunya. Tertulis di sana nama nenek dan kakek sebagai pihak yang ditagih, lalu ada nama seorang laki – laki dan tanda tangan di bagian penagih. Jumlah utangnya sebesar Dua Ratus dan Lima Ratus Dirham
            “Apa maksudnya ini?” tanya gadis tersebut bingung.
            “Laki-laki di foto itu adalah seorang teman lama, namanya ada pada surat-surat yang kutunjukkan kepadamu…” Jawabnya dengan suara parau dan mata yang mulai penuh dengan air siap keluar kapan saja.
            Gadis berambut keriting itu syok mendengarnya, jelas laki-laki itu adalah orang yang baru saja datang ke ladang tadi pagi dan menagih utang kepadanya. Tapi wajahnya tidak setua kakek atau nenek.
            “Apakah orang yang barusan kudatangi adalah anaknya?” tanya Gadis tersebut antara penasaran dan takut.
            Nenek hanya diam tanpa kata, lalu perlahan-lahan mulai bicara, air matanya jatuh ke baju, bibirnya bergetar, tangannya menekan kuat ke lengan kursi. “Ia telah meninggal lima tahun yang lalu, seluruh keluarganya telah dibantai tanpa sisa, aku… aku … tidak tahu siapa yang telah melakukannya,” Jelas Wanita Tua itu lirih.
            Gadis itu semakin syok dengan apa yang baru saja ia dengar, jika seluruh keluarganya telah dibantai, lantas siapa laki-laki bertubuh besar yang sudah dua kali datang menagih kepadanya?
Lalu, rumah siapa gerangan yang baru saja ia datangi? Siapakah yang tinggal di dalamnya?

Karya Ilustrasi : Bayu Zane
Bogor, 30 April 2016

No comments:

Post a Comment

Back to top